31 Maret 2020

Sastra Manusia Kamar

Menjelang akhir 1980-an, manusia kamar masih dibayangkan, yaitu, orang yang bekerja hanya dari rumah dan tak pernah keluar rumah.

Sastra Manusia Kamar


Kalau seorang penulis, ia bekerja menyelesaikan tulisannya di rumah, esoknya ia menitipkan tulisannya kepada pak pos yang lewat di depan rumahnya atau kebetulan sedang mengantarkan wesel honorarium dari koran untuk tulisannya. Sersan Ia tak pernah ke mana-mana.

Di akhir 1980-an, saya membaca kisah demikian itu dalam cerpen "Manusia Kamar" Seno Gumiro Ajidarmo.

Membaca kisah semacam itu, dulu, saya sering membayangkan almarhumah Ratna Indraswari Ibrahim, cerpenis novelis Malang yang kondisi tubuh, tangan, dan penglihatannya tidak sempurna, selalu di kursi roda, dan hidup sehari-hari dalam bantuan seorang pembantu yang merawatnya.

Konon apabila menulis, ia merekam ceritanya itu dalam tape recorder, lalu pembantu yang merawatnya itu, selain merawat dirinya, memiliki kegiatan tambahan, yaitu mengetik cerita-cerita itu di kertas dan mengirimkannya ke koran-koran dan mengambil honorarium tulisan-tulisannya lewat pos. Mesrul

Tapi Ratna seorang aktivis lingkungan. Dalam ketidaksempurnaannya, ia memiliki jaringan yang luas. Selain masih mendapat kunjungan para aktivis atau para penulis, ia juga memperoleh kesempatan pergi ke berbagai mancanegara untuk pertemuan-pertemuan akademik, keoorganisasian, dan perawatan kesehatannya.

Ia mungkin kondisinya dalam keterbatasan dan bekerja kreatif di rumah, tapi ia seorang yang bebas. Ia selalu bisa ke mana-mana.

Lalu saya membayangkan penulis produktif dengan sikap pemberani yang keras, tapi tiba-tiba harus hidup dalam tahanan yang keras pula. Sermes

Saya membayangkan almarhum Pramoedya Ananta Toer yang setelah peristiwa politik 1965 harus hidup dalam tahanan di Pulau Buru.

Ia, yang semula hidup dengan kebebasan dan keberanian dalam tulisan-tulisannya, kini ia harus menjalani hidup dalam tahanan dengan aturan tanpa boleh menggunakan alat tulis apa pun.

Konon ia tak kurang akal. Cerita-cerita yang selalu muncul dalam pikirannya itu selalu dirawatnya dengan cara ia selalu bercerita tentang ceritanya kepada kawan-kawannya sesama tahanan.

Puluhan tahun itu ia lakukan hingga pada suatu waktu ia mendapat kunjungan seorang rohaniwan Belanda yang lalu mengajukan permohonan kepada pemerintah untuk diperkenankan memberikan mesin ketik dan kertas kepada Pram.

Konon, novel-novel Pulau Buru Pram yang terkenal itu, yakni Bumi Manusia, Anak semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca itu, yang pada akhir 1980-an telah menjadi bacaan di berbagai negara seperti di Amerika, Belanda, Singapura, dan Jepang, tapi di dalam negeri dilarang dengan ancaman penjara bila membaca, memperbanyak, atau mengedarkan, itu lahir dengan proses kelisanan dulu sebelum menjadi tulisan.

Tapi bukan itu semua poinnya. Poinnya adalah Pram dengan novel-novelnya edisi Pulau Buru itu, adalah pengarang yang berkarya dari kamar tahanan. Ia menulis novel-novelnya, lalu seorang missionaris mengambilnya, membawanya dan menerbitkannya di luar.

Pram sendiri saat itu tetap dalam tahanan. Ia keluar seingat saya saat Habibie jadi presiden.

Apa yang menggoda dari imajinasi cerpen "Manusia Kamar" Seno dan proses kretatif Ratna dan atau Pram itu bagi suasana hidup karantina hari ini? Sersanmesrul

Mampukah kisah-kisah personal manusia super itu memberi kekuatan kepada manusia kebanyakan hari ini untuk mampu hidup tetap produktif dalam karantina kehidupan yang sudah difasilitasi teknologi canggih di bidang komunikasi dan informasi ini?

Catatan Mas Sudibyo